Help you to be empowered with self-acceptance through life reflection

Keimanan: Lebih dari Sekadar Ritual*

Hari-hari belakangan begitu banyak berita yang bercerita tentang anak-anak dengan latar belakang sekolah agama yang kemudian dengan terbukti melakukan hal-hal yang justru dilarang oleh agama. Tentu pedih hati kita membaca kenyataan itu. Tidak semua, namun fenomenanya menggejala. Seperti virus, ia menyebar, menjangkiti siapapun yang rentan. Seks bebas, bullying, bahkan KDRT kini bukan lagi didominasi suami terhadap istri, melainkan anak terhadap orangtua.

Maka sungguh tidaklah sama, antara membangun ritual beribadah dengan hakikat keimanan. Kedua hal ini saling melengkapi, keduanya perlu ada, tanpa meniadakan. Namun jangan sampai salah prioritas, mana yang perlu ditumbuhkan terlebih dahulu.

Hakikat keimanan adalah pemahaman dan keyakinan mendalam terhadap Allah, yang meliputi sikap hati, keyakinan yang kokoh, serta penghayatan spiritual dalam setiap tindakan, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Keimanan melibatkan kepercayaan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul, hari kiamat, dan qada’ serta qadar. Hakikat keimanan bertujuan untuk menginternalisasi keyakinan, sehingga seorang Muslim tidak hanya menjalankan ibadah secara mekanis, tetapi juga memahami, merasakan, dan menghidupi nilai-nilai iman dalam setiap aspek kehidupannya. Ini mencakup ketulusan hati, pengorbanan, sabar, tawakal, dan rasa cinta kepada Allah.

Sedangkan ritual beribadah merujuk pada pelaksanaan tindakan-tindakan ibadah yang sudah diatur secara formal dalam agama, seperti shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, dan lain-lain. Ritual ini melibatkan bentuk fisik dari ibadah yang diulang secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Membangun ritual beribadah bertujuan untuk menjaga ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya secara teratur. Ibadah yang dilakukan menjadi cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membentuk kedisiplinan dalam beragama.

Perbedaan Utama

  • Ritual ibadah cenderung fokus pada bentuk fisik dan aturan formal, sementara hakikat keimanan lebih mendalam dan mencakup aspek spiritual serta keyakinan yang menggerakkan hati dan pikiran.
  • Ritual bisa dilakukan secara rutin tanpa penghayatan, tetapi keimanan yang hakiki membawa makna ke dalam setiap ritual, menjadikannya lebih dari sekadar rutinitas fisik—melainkan wujud cinta dan ketaatan penuh kepada Allah.
  • Ritual sering kali bersifat eksternal, terlihat oleh orang lain, sedangkan keimanan adalah urusan hati yang hanya Allah dan orang tersebut yang benar-benar mengetahuinya.

Maka kita sebagai orangtua, perlu aware tentang dua hal ini. Jangan sampai kita merasa berhasil mendidik anak dengan hanya bertumpu pada tolok ukur capaian hafalan Al-quran, fasih bahasa Arab, dll yang sifatnya ritual. Ritual itu penting, dan memang harus dijalani. Namun ritual itu tidak akan jadi nothing, tidak berarti apa-apa, jika tanpa didasari pondasi KEIMANAN.

Didik dan Bina Anak-anak dalam Cahaya Iman dan Tauhid.

Hakikat iman itu menghadirkan rasa takut pada Allah. Takut melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah. Dan rasa takut inilah yang akan mendekatkan diri pada Allah.

Contoh sikap orang beriman dalam rumah tangga:
– Jika ia mencintai istrinya, ia akan menjaganya, memuliakannnya.
– Jika ia tidak menyukai istrinya, ia tidak akan menyakiti istrinya dan tetap memperlakukan dengan baik.

Menumbuhkan iman dan tauhid diawali dengan:

  • Mengisi hati dengan prasangka baik pada ketetapan-Nya
  • Menciptakan ritual beribadah (penting dan harus ada), tetapi hakikatnya ada pada pemahaman, mengapa perlu melakukan ritual tersebut.
  • Keteladanan. Menumbuhkan iman, berbeda dengan mengajarkan pengetahuan tentang iman. Yang bisa menumbuhkan hakikat keimanan adalah guru (belajar langsung). Maka di rumah, guru anak-anak adalah ibu dan ayahnya.
  • Integritas. Menginternalisasikan hakikat iman pada diri. Yang membekas dalam berilmu akan nampak pada interaksi sosial.

"Di puncak pengambilan keputusan, masing-masing kita akan mengambil keputusan sendirian." (Dorojatun Kuncoro Jakti)

Mari sebelum mendidik dan membina anak-anak kita dengan cahaya iman dan tauhid, kita didik dulu diri kita untuk memahami hakikat iman, hingga terinternalisasi ke dalam diri, memunculkan integritas dalam bentuk kesiapan mengambil dan memimpin tanggung jawab pada setiap keputusan dalam hidup. Kelak, anak-anak kita (si peniru ulung) akan belajar langsung tentang hakikat iman dengan berinteraksi bersama kita.

*Tulisan ini adalah insight belajar dari Ustad Cahyadi Takariawan pada agenda SLC Bootcamp#6 di Jogja Tgl 20 Agustus 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *